Perusahaan teknologi asal Amerika Serikat (AS) International Business Machines (IBM) memperkirakan, kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI), komputasi awan (cloud) dan keamanan siber masif diadopsi di Indonesia pada 2021. Ini untuk menyesuaikan diri dengan perubahan akibat pandemi corona. President Director IBM Indonesia Tan Wijaya mengatakan, ketiga teknologi itu diminati oleh perusahaan Indonesia di berbagai sektor. “Saat ini menjadi tren dan tahun depan juga masih menarik,” kata dia dalam diskusi virtual bertajuk ‘Outlook 2021: Transformasi Digital Indonesia Menuju Ekonomi Berbasis Inovasi’, Kamis (17/12).
Entitas bisnis di Tanah Air mau tidak mau harus menyesuaikan diri dengan perubahan pola konsumsi masyarakat akibat pandemi Covid-19. Berdasarkan riset Facebook dan Bain and Company, konsumen digital di Indonesia diperkirakan meningkat dari 119 juta tahun lalu menjadi 137 juta pada 2020. Persentasenya pun melonjak dari 58% menjadi 68% terhadap total populasi.
“Teknologi menjadi pilihan agar resisten terhadap kondisi saat ini (pandemi virus corona), dan bisa bersaing di kemudian hari,” ujar Tan.
Ia menilai, teknologi menjadi tolok ukur keunggulan komparatif (competitive advantage) dalam bersaing saat ini. “Dengan AI yang cukup, perusahaan bisa menyusun strategi untuk menyasar segmen pasar yang tepat,” katanya. Instansi pemerintah pun sudah mengadopsi teknologi AI. Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak misalnya, memakai AI untuk mengatasi potensi penyalahgunaan (fraud). Lalu, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) mengembangkan teknologi itu untuk menangani kebakaran hutan. Pemerintah pun menyiapkan strategi nasional AI (National AI Strategic). Strategi itu bertujuan menjadi penduan bagi pemerintah dalam menerapkan AI di Tanah Air.
Berdasarkan data Statista, pangsa pasar global untuk software AI juga terus tumbuh pesat. Hingga 2025, potensi pasar AI mencapai US$ 126 miliar atau Rp 1.781 triliun.
Kemudian, banyak perusahaan Indonesia yang mengadopsi cloud untuk meningkatkan efisiensi biaya operasional. Raksasa teknologi global seperti Google, Alibaba, dan Amazon masuk ke Indonesia. “Itu karena potensi pasar Indonesia sangat besar. Ada empat dari 10 unicorn ASEAN di Indonesia,” ujar Tan.
Ketiga, tren optimalisasi teknologi keamanan siber. “Ini suatu keharusan bagi perusahaan,” ujarnya. Sebab, transformasi digital yang begitu masif di Indonesia membawa risiko kejahatan siber. Penggunaan berbagai platform digital dimanfaatkan sejumlah pihak untuk melakukan kejahatan virtual. Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) mencatat, serangan siber naik dari 39,3 juta selama Januari-Juli 2019 menjadi 189,9 juta untuk periode yang sama tahun ini. Jenis yang sering ditemui berupa serangan terhadap situs internet, pengumpulan informasi, dan trojan. Trojan dapat diartikan sebagai serangan yang dapat diam-diam menginstalkan diri dan mencuri data pengguna terkait.
President Director Multipolar Technology Wahyudi Chandra memperkirakan, pengembangan teknologi keamanan siber paling banyak diadopsi oleh sektor keuangan. Sebab, sektor ini menjadi sasaran para pelaku kejahatan siber. “Dari segi keamanan, perusahaan bukan sekadar membuat sistemnya, tapi sudah menjadi keharusan menambah kemampuan teknologi,” ujarnya. Hasil analisis perusahaan solusi keamanan siber Trend Micro juga memperkirakan serangan siber ke sistem perbankan dan fintech meningkat pada tahun ini. Alasannya, perusahaan di kedua sektor ini mengadopsi lebih banyak teknologi saat pandemi virus corona, sehingga butuh pembaruan sistem.