Multipolar Technology Tawarkan Platform Cortex CDR, Sistem Keamanan Siber Berbasis Machine Learning

Didorong oleh digitalisasi di berbagai sektor , lalu lintas internet global terus meningkat pesat setiap tahunnya. World Bank bahkan mencatat lalu lintas internet tahun ini telah meningkat 50% dibanding pada 2020 menjadi 4,8 zettabyte. Jika disimpan di dalam DVD, panjang tumpukannya setara dengan enam kali keliling Bumi.

Di sisi lain, semakin canggih teknologi perusahaan semakin canggih pula cara penjahat siber melakukan serangannya tanpa henti. Modusnya bisa bermacam-macam, baik berupa ransomware, spionase, fileless attack, maupun pelanggaran data yang merusak. Sehingga, yang wajib menjadi perhatian perusahaan bukan hanya risiko yang ditimbulkan, melainkan juga tugas berulang (repetitif) ketika menerima peringatan keamanan (security alert) yang tak ada habisnya setiap hari.

Masalahnya, kebanyakan dari tim keamanan siber perusahaan hanya dapat meninjau kurang dari setengah security alert yang mereka terima, sehingga meningkatkan risiko pelanggaran data.
Apalagi di Indonesia, masih banyak perusahaan yang belum memiliki sistem keamanan siber mumpuni.
Atas pertimbangan itu, maka PT Multipolar Technology Tbk, anak perusahaan PT Multipolar Tbk yang berperan sebagai mitra dalam mendukung pengembangan teknologi digital perusahaan di berbagai sektor, mengusung platform Cortex XDR keluaran Palo Alto Networks, perusahaan keamanan siber asal California, Amerika Serikat, ke pasar Indonesia.

Cortex XDR merupakan platform Extended Detection and Response yang mengintegrasikan network, endpoint, cloud, dan thirt-party data untuk menghentikan serangan siber yang mengancam keamanan data perusahaan.

Yohan Gunawan, Director Hybrid Infrastructure Services Business Multipolar Technology, mengatakan sejak awal Cortex XDR dirancang untuk membantu mengamankan aset digital dan data pelanggan seraya menyederhanakan operasional perusahaan.

“Platform Cortex XDR mampu mempercepat investigasi delapan kali lebih cepat, dengan memberikan gambaran secara lengkap dari setiap security alert yang muncul di sistem keamanan siber perusahaan,” ungkapnya.

Dengan menggunakan behavioral analytics, Cortex XDR mengidentifikasi ancaman siber, baik yang diketahui maupun tidak diketahui. Dilengkapi teknologi machine learning, Cortex XDR sanggup mengidentifikasi dan memitigasi ancaman lebih awal karena mampu mempelajari behavior dari network, user, dan aplikasi yang digunakan sehari-hari.

Yohan menjelaskan, Multipolar Technology mengusung Cortex XDR ke pasar Indonesia karena menawarkan tools yang mampu menyelesaikan empat langkah berulang sekaligus, yakni mencegah ancaman secara otomatis, mendeteksi ancaman secara akurat, menyelidiki ancaman secara cepat, dan menanggapi ancaman secara cerdas.

Kerangka kerja yang ditawarkan platform Cortex XDR semacam itu dibutuhkan untuk mengamankan perusahaan dari ancaman keamanan siber pada saat ini dan masa mendatang, tidak terkecuali perusahaan-perusahaan di Indonesia.

Diperlukan Platform yang Bisa Amankan Aset Digital, Data Pelanggan dan Sederhanakan Operasional

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – World Bank mencatat lalu lintas internet tahun ini telah meningkat 50 persen dibanding pada 2020 menjadi 4,8 zettabyte. Jika disimpan di dalam DVD, panjang tumpukannya setara dengan enam kali keliling Bumi.

Semakin canggih teknologi perusahaan semakin canggih pula cara penjahat siber melakukan serangannya tanpa henti.

Yohan Gunawan, Director Hybrid Infrastructure Services Business Multipolar Technology mengatakan, modus pelaku dilakukan bisa bermacam-macam, baik berupa ransomware, spionase, fileless attack, maupun pelanggaran data yang merusak.

“Sehingga yang wajib menjadi perhatian perusahaan bukan hanya risiko yang ditimbulkan, melainkan juga tugas berulang atau repetitif ketika menerima peringatan keamanan (security alert) yang tak ada habisnya setiap hari,” kata Yohan dalam keterangannya, Selasa (21/6/2022).

Masalahnya, kata kebanyakan dari tim keamanan siber perusahaan hanya dapat meninjau kurang dari setengah security alert yang mereka terima, sehingga meningkatkan risiko pelanggaran data.

Apalagi di Indonesia, masih banyak perusahaan yang belum memiliki sistem keamanan siber mumpuni.

Fakta ini mendorong PT Multipolar Technology Tbk mengusung platform Cortex XDR keluaran Palo Alto Networks, perusahaan keamanan siber asal California, Amerika Serikat, ke pasar Indonesia.

Cortex XDR merupakan platform Extended Detection and Response yang mengintegrasikan network, endpoint, cloud, dan thirt-party data untuk menghentikan serangan siber yang mengancam keamanan data perusahaan.

“Sejak awal Cortex XDR dirancang untuk membantu mengamankan aset digital dan data pelanggan seraya menyederhanakan operasional perusahaan,” katanya.

Platform ini mempercepat investigasi delapan kali lebih cepat, dengan memberikan gambaran secara lengkap dari setiap security alert yang muncul di sistem keamanan siber perusahaan.

Multipolar Technology mengusung Cortex XDR ke pasar Indonesia karena menawarkan tools yang mampu menyelesaikan empat langkah berulang sekaligus, yakni mencegah ancaman secara otomatis, mendeteksi ancaman secara akurat, menyelidiki ancaman secara cepat, dan menanggapi ancaman secara cerdas.

 

 

Multipolar punya sistem keamanan siber berbasis Machine Learning Cortex XDR

JAKARTA (IndoTelko)  — Lalu lintas internet global yang didorong oleh digitalisasi di berbagai sektor terus meningkat pesat setiap tahunnya. World Bank bahkan mencatat lalu lintas internet tahun ini telah meningkat 50% dibanding pada 2020 menjadi 4,8 zettabyte. Jika disimpan di dalam DVD, panjang tumpukannya setara dengan enam kali keliling Bumi.

Di sisi lain, semakin canggih teknologi perusahaan semakin canggih pula cara penjahat siber melakukan serangannya tanpa henti. Modusnya bisa bermacam-macam, baik berupa ransomware, spionase, fileless attack, maupun pelanggaran data yang merusak. Sehingga, yang wajib menjadi perhatian perusahaan bukan hanya risiko yang ditimbulkan, melainkan juga tugas berulang (repetitif) ketika menerima peringatan keamanan (security alert) yang tak ada habisnya setiap hari.

Masalahnya, kebanyakan dari tim keamanan siber perusahaan hanya dapat meninjau kurang dari setengah security alert yang mereka terima, sehingga meningkatkan risiko pelanggaran data. Apalagi di Indonesia, masih banyak perusahaan yang belum memiliki sistem keamanan siber mumpuni.

Atas pertimbangan itu, maka PT Multipolar Technology Tbk (IDX: MLPT), anak perusahaan PT Multipolar Tbk (IDX: MLPL) yang berperan sebagai mitra dalam mendukung pengembangan teknologi digital perusahaan di berbagai sektor, mengusung platform Cortex XDR keluaran Palo Alto Networks (Nasdaq: PANW), perusahaan keamanan siber asal California, Amerika Serikat, ke pasar Indonesia.

Cortex XDR merupakan platform Extended Detection and Response yang mengintegrasikan network, endpoint, cloud, dan thirt-party data untuk menghentikan serangan siber yang mengancam keamanan data perusahaan. Menurut Yohan Gunawan, Director Hybrid Infrastructure Services Business Multipolar Technology, sejak awal Cortex XDR dirancang untuk membantu mengamankan aset digital dan data pelanggan seraya menyederhanakan operasional perusahaan.

“Platform Cortex XDR mampu mempercepat investigasi delapan kali lebih cepat, dengan memberikan gambaran secara lengkap dari setiap security alert yang muncul di sistem keamanan siber perusahaan,” ungkapnya.

Dengan menggunakan behavioral analytics, Cortex XDR mengidentifikasi ancaman siber, baik yang diketahui maupun tidak diketahui. Dilengkapi teknologi machine learning, Cortex XDR sanggup mengidentifikasi dan memitigasi ancaman lebih awal karena mampu mempelajari behavior dari network, user, dan aplikasi yang digunakan sehari-hari.

Yohan menjelaskan, Multipolar Technology mengusung Cortex XDR ke pasar Indonesia karena menawarkan tools yang mampu menyelesaikan empat langkah berulang sekaligus, yakni mencegah ancaman secara otomatis, mendeteksi ancaman secara akurat, menyelidiki ancaman secara cepat, dan menanggapi ancaman secara cerdas.

Kerangka kerja yang ditawarkan platform Cortex XDR semacam itu dibutuhkan untuk mengamankan perusahaan dari ancaman keamanan siber pada saat ini dan masa mendatang, tidak terkecuali perusahaan-perusahaan di Indonesia. (sar)

Multipolar Technology Tawarkan Sistem Keamanan Siber Berbasis Machine Learning Cortex

KONTAN.CO.ID – Lalu lintas internet global yang didorong oleh digitalisasi di berbagai sektor terus meningkat pesat setiap tahunnya. World Bank bahkan mencatat lalu lintas internet tahun ini telah meningkat 50% dibanding pada 2020 menjadi 4,8 zettabyte. Jika disimpan di dalam DVD, panjang tumpukannya setara dengan enam kali keliling Bumi.

Di sisi lain, semakin canggih teknologi perusahaan semakin canggih pula cara penjahat siber melakukan serangannya tanpa henti. Modusnya bisa bermacam-macam, baik berupa ransomware, spionase, fileless attack, maupun pelanggaran data yang merusak. Sehingga, yang wajib menjadi perhatian perusahaan bukan hanya risiko yang ditimbulkan, melainkan juga tugas berulang (repetitif) ketika menerima peringatan keamanan (security alert) yang tak ada habisnya setiap hari.

Masalahnya, kebanyakan dari tim keamanan siber perusahaan hanya dapat meninjau kurang dari setengah security alert yang mereka terima, sehingga meningkatkan risiko pelanggaran data. Apalagi di Indonesia, masih banyak perusahaan yang belum memiliki sistem keamanan siber mumpuni.

Atas pertimbangan itu, maka PT Multipolar Technology Tbk (IDX: MLPT), anak perusahaan PT Multipolar Tbk (IDX: MLPL) yang berperan sebagai mitra dalam mendukung pengembangan teknologi digital perusahaan di berbagai sektor, mengusung platform Cortex XDR keluaran Palo Alto Networks (Nasdaq: PANW), perusahaan keamanan siber asal California, Amerika Serikat, ke pasar Indonesia.

Cortex XDR merupakan platform Extended Detection and Response yang mengintegrasikan network, endpoint, cloud, dan thirt-party data untuk menghentikan serangan siber yang mengancam keamanan data perusahaan. Menurut Yohan Gunawan, Director Hybrid Infrastructure Services Business Multipolar Technology, sejak awal Cortex XDR dirancang untuk membantu mengamankan aset digital dan data pelanggan seraya menyederhanakan operasional perusahaan.

“Platform Cortex XDR mampu mempercepat investigasi delapan kali lebih cepat, dengan memberikan gambaran secara lengkap dari setiap security alert yang muncul di sistem keamanan siber perusahaan,” ungkapnya.

Dengan menggunakan behavioral analytics, Cortex XDR mengidentifikasi ancaman siber, baik yang diketahui maupun tidak diketahui. Dilengkapi teknologi machine learning, Cortex XDR sanggup mengidentifikasi dan memitigasi ancaman lebih awal karena mampu mempelajari behavior dari network, user, dan aplikasi yang digunakan sehari-hari.

ohan menjelaskan, Multipolar Technology mengusung Cortex XDR ke pasar Indonesia karena menawarkan tools yang mampu menyelesaikan empat langkah berulang sekaligus, yakni mencegah ancaman secara otomatis, mendeteksi ancaman secara akurat, menyelidiki ancaman secara cepat, dan menanggapi ancaman secara cerdas.

Kerangka kerja yang ditawarkan platform Cortex XDR semacam itu dibutuhkan untuk mengamankan perusahaan dari ancaman keamanan siber pada saat ini dan masa mendatang, tidak terkecuali perusahaan-perusahaan di Indonesia.

Jalankan Aplikasi Cloud-Ready, Ini 3 Platform Terkemuka yang Layak Dipertimbangkan Perbankan

INDOPOS.CO.ID – Di era digital yang serba-canggih seperti sekarang ini, perusahaan-perusahaan perbankan di Tanah Air sebenarnya telah berlomba-lomba mendigitalisasi layanannya dengan memanfaatkan teknologi komputasi awan (cloud computing). Sayangnya, penerapannya masih terkendala kompleksitas, operasional yang terpisah-pisah (silo), dan biaya yang mahal.

Karena itu, dibutuhkan solusi yang memungkinkan teknologi cloud mampu berjalan dengan baik di sistem perbankan yang ada. Caranya dengan mengubah aplikasi yang sebelumnya bersistem monolitik ke aplikasi cloud-ready. Langkah awal yang harus dilakukan perbankan untuk itu adalah dengan mempersiapkan infrastruktur yang lebih cloud-ready sebelum menyiapkan aplikasinya.

Director Hybrid Infrastructure Services Business PT Multipolar Technology Tbk (IDX: MLPT), anak perusahaan PT Multipolar Tbk (IDX: MLPL) yang berperan sebagai mitra dalam mendukung pengembangan teknologi digital di berbagai sektor, Yohan Gunawan menyebut ada banyak infrastruktur dan platform yang memudahkan penerapan aplikasi cloud-ready di perbankan. Tiga di antaranya, yaitu Red Hat OpenShift, Nutanix Private Cloud, dan Google Cloud.

Red Hat OpenShift merupakan platform kontainer konsisten [consistent container platform] yang memudahkan pengelolaan dan modernisasi aplikasi yang ada serta menghadirkan aplikasi baru. “Ibarat mesin mobil, platform kontainer aplikasi Red Hat OpenShift dapat berjalan di infrastruktur cloud apa pun,” ungkapnya dalam sebuah seminar bertema Cloud-Ready Banking di Fairmont Hotel, Jakarta, Selasa (14/6).

Platform kontainer aplikasi Red Hat OpenShift memungkinkan perusahaan perbankan menjalankan aplikasi di infrastruktur pilihan yang dirasa paling tepat, entah itu on-premise, public cloud, private cloud, atau pun hybrid cloud, tanpa harus memodifikasi aplikasinya terlebih dahulu. Dalam deployment-nya pun tidak membutuhkan downtime sehingga perusahaan perbankan dapat terus berinovasi dan go-to-market lebih cepat tanpa mengganggu layanan pelanggan.

Jika platform kontainer aplikasi Red Hat OpenShift seperti mobil, Nutanix Private Cloud dan Google Cloud diibaratkan infrastruktur jalannya. Meski sama-sama menjadi infrastruktur bagi platform kontainer aplikasi, antara Nutanix Private Cloud dan Google Cloud memiliki karakteristik yang berbeda—yang dapat dipilih sesuai kebutuhan perusahaan perbankan atas fungsi aplikasinya.

Nutanix Private Cloud mirip seperti infrastruktur jalan di kompleks perumahan yang sifatnya privat atau terbatas hanya untuk mobil penghuni saja yang diizinkan lewat. Dengan begitu, pergerakannya menjadi lebih bebas disertai kebijakan dan kontrol sepenuhnya di sisi pengguna karena hanya platform kontainer aplikasi milik perusahaan perbankan tertentu yang bisa berjalan di 1-2 dua jalur infrastruktur tersebut.

Sementara Google Cloud, menurut Cloud Technology Manager Multipolar Technology, Fiertra Cahya diumpamakan seperti infrastruktur jalan tol yang semua mobil diperbolehkan lewat, tiket yang dibayar sesuai tujuan dan jarak. Artinya, infrastruktur milik Google itu bisa menampung banyak dan beragam platform kontainer aplikasi perbankan melalui 6-8 lajur jalan bebas hambatan, sehingga mampu melayani lebih banyak dan mempercepat waktu perjalanan. Karena lebih terbuka terhadap jenis kendaraan dan digunakan bersama, biaya yang ditawarkan menjadi lebih murah, bahkan tanpa investasi awal.

Fiertra mengatakan proses setup platform kontainer aplikasi pada Google Cloud juga cukup cepat, bisa kurang dari lima menit. “Dari sudut pandang keamanan siber tidak perlu diragukan lagi, karena telah dijamin sertifikasi dan kepatuhan tingkat dunia yang lengkap, didukung tools terbaik dan ribuan teknisi sekuriti andal selama 24×7, saya rasa tertinggi di dunia dan pasti sudah memenuhi kebutuhan perbankan”, ujarnya.

Untuk diketahui bahwa perlunya penggunaan infrastruktur dan platform kontainer aplikasi demi mengimplementasi aplikasi cloud-ready oleh perusahaan-perusahaan perbankan di Indonesia telah direspons Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Upaya itu sudah masuk dalam Cetak Biru Transformasi Digital Perbankan sebagai arah dan acuan percepatan transformasi digital perbankan yang diluncurkan regulator tersebut pada akhir Oktober lalu.

Aplikasi Cloud-Ready Bisa jadi Pilihan Perbankan dalam Transformasi Digital

Jakarta – Industri perbankan tengah gencar melakukan transformasi digital, termasuk dengan memanfaatkan teknologi cloud computing (komputasi awan). Namun penerapannya masih kerap terkendala kompleksitas, operasional yang terpisah-pisah (silo) dan biaya mahal.

Yohan Gunawan, Director Hybrid Infrastructure Services Business PT Multipolar Technology Tbk mengatakan, tantangan tersebut sebenarnya bisa diatasi. Ada solusi yang memungkinkan teknologi cloud mampu berjalan baik di sistem perbankan yang sudah ada. Caranya dengan mengubah aplikasi yang sebelumnya bersistem monolitik ke aplikasi cloud-ready. Langkah awal yang harus dilakukan perbankan untuk itu adalah dengan mempersiapkan infrastruktur yang lebih cloud-ready sebelum menyiapkan aplikasinya.

Menurut Yohan, ada banyak infrastruktur dan platform yang memudahkan penerapan aplikasi cloud-ready di perbankan, di antaranya Red Hat OpenShift, Nutanix Private Cloud, dan Google Cloud. Red Hat OpenShift merupakan platform kontainer konsisten (consistent container platform) yang memudahkan pengelolaan dan modernisasi aplikasi yang ada serta menghadirkan aplikasi baru.

“Ibarat mesin mobil, platform kontainer aplikasi Red Hat OpenShift dapat berjalan di infrastruktur cloud apa pun,” ujar Yohan dalam seminar bertema Cloud-Ready Banking di Jakarta, Selasa, 14 Juni 2022.

Red Hat OpenShift memungkinkan perusahaan perbankan menjalankan aplikasi di infrastruktur pilihan yang dirasa paling tepat, entah itu on-premise, public cloud, private cloud, atau pun hybrid cloud, tanpa harus memodifikasi aplikasinya terlebih dahulu. Dalam deployment-nya pun tidak membutuhkan downtime sehingga tidak mengganggu layanan pelanggan.

Sedangkan Nutanix Private Cloud dan Google Cloud diibaratkan infrastruktur jalannya. Meski sama-sama menjadi infrastruktur bagi platform kontainer aplikasi, antara Nutanix Private Cloud dan Google Cloud memiliki karakteristik yang berbeda—yang dapat dipilih sesuai kebutuhan perusahaan perbankan atas fungsi aplikasinya.

Nutanix Private Cloud mirip seperti infrastruktur jalan di kompleks perumahan yang sifatnya privat atau terbatas hanya untuk mobil penghuni saja yang diizinkan lewat. Dengan begitu, pergerakannya menjadi lebih bebas disertai kebijakan dan kontrol sepenuhnya di sisi pengguna karena hanya platform kontainer aplikasi milik perusahaan perbankan tertentu yang bisa berjalan di 1-2 dua jalur infrastruktur tersebut.

Sementara Google Cloud, menurut Fiertra Cahya, Cloud Technology Manager Multipolar Technology, ibarat jalan tol di mana semua mobil diperbolehkan lewat, tiket yang dibayar sesuai tujuan dan jarak. Infrastruktur milik Google itu bisa menampung banyak dan beragam platform kontainer aplikasi perbankan melalui 6-8 lajur jalan bebas hambatan, sehingga mampu melayani lebih banyak dan lebih cepat. Karena lebih terbuka terhadap jenis kendaraan dan digunakan bersama, biaya yang ditawarkan menjadi lebih murah, bahkan tanpa investasi awal.

“Dari sudut pandang keamanan siber tidak perlu diragukan lagi, karena telah dijamin sertifikasi dan kepatuhan tingkat dunia yang lengkap, didukung tools terbaik dan ribuan teknisi sekuriti andal selama 24/7, saya rasa tertinggi di dunia dan pasti sudah memenuhi kebutuhan perbankan,” ucapnya. (*) Ari Astriawan

Ini Manfaat dan Risiko Cloud Computing bagi Industri Perbankan

Jakarta – Perkembangan penggunaan sistem cloud di industri perbankan semakin meningkat. Dalam hal ini, untuk dapat bersaing di era digital sektor perbankan harus mulai bertransformasi ke sistem cloud banking. Selain memiliki manfaat, namun ada pula risiko yang harus dihadapi oleh regulator, industri keuangan dan penyedia layanan teknologi.

“Cloud computing sangat bermanfaat bagi perbankan, salah satunya untuk menyederhanakan struktur IT, serta meningkatkan efisiensi operasional bank,” ujar Tony, Deputi Basel dan Perbankan Internasional Departement Penelitian dan Pengaturan Perbankan OJK, dalam seminar yang diadakan Multipolar Technology dan Infobank Institute bertajuk Membangun Cloud-Ready Banking untuk Siap Bersaing di Era Digital, Selasa, 14 Juni 2022.

Selain itu, cloud computing juga dapat meningkatkan skalabilitas, inovasi, dan agilitas perbankan. Selanjutnya, hal tersebut juga dapat meningkatkan fokus bisnis, mengurangi biaya prediktabilitas, meningkatkan akses ekosistem, keamanan, dan keuangan yang berkelanjutan.

Namun, cloud computing juga memunculkan risiko bagi perbankan, yaitu risiko operasional seperti lock-in atau ketergantungan bank pada penyedia layanan cloud computing, berhentinya layanan cloud computing, dan kesalahan konfigurasi sistem.

Selain itu, ada juga risiko keterbatasan akses bagi regulator untuk melakukan pemeriksaan, ketidakpastian kewajiban hukum pada lokasi beroperasinya penyedia cloud computing terkait akses dan penggunaan data serta apabila konsentrasi pada suatu penyedia cloud computing cukup tinggi, kegagalan pada penyedia dapat berdampak sistemik pada sistem keuangan.

Hingga saat ini, dalam transformasi digital perbankan OJK telah menerbitkan ketentuan-ketentuan pemanfaatan IT, salah satunya yang berkaitan dengan cloud computing, yaitu POJK No.12/POJK.03/2016 tentang Penyelenggaraan Layanan Perbankan Digital oleh Bank Umum serta POJK No.38/POJK.03/2016 dan perubahannya di No.13/POJK.03/2020 dan SEOJK No.21/SEOJK.03/2017 tentang Penerapan Manajemen Risiko dalam Penggunaan Teknologi Informasi oleh Bank Umum serta. (*) Irawati

Multipolar Technology Beberkan 3 Platform Pendukung Cloud-Ready Banking

INFO BISNIS – Yohan Gunawan, Director Hybrid Infrastructure Services Business PT Multipolar Technology Tbk (IDX: MLPT), anak perusahaan PT Multipolar Tbk (IDX: MLPL) menyebutkan sejumlah infrastruktur dan platform yang memudahkan penerapan aplikasi cloud-ready di perbankan. Tiga di antaranya yaitu Red Hat OpenShift, Nutanix Private Cloud, dan Google Cloud.

Red Hat OpenShift merupakan platform kontainer konsisten [consistent container platform] yang memudahkan pengelolaan dan modernisasi aplikasi yang ada serta menghadirkan aplikasi baru.

“Ibarat mesin mobil, platform kontainer aplikasi Red Hat OpenShift dapat berjalan di infrastruktur cloud apa pun,” ujarnya dalam sebuah seminar bertema “Cloud-Ready Banking” di Fairmont Hotel, Jakarta, Selasa, 14 Juni 2022.

Red Hat OpenShift memungkinkan perusahaan perbankan menjalankan aplikasi di infrastruktur pilihan yang dirasa paling tepat, entah itu on-premise, public cloud, private cloud, atau pun hybrid cloud, tanpa harus memodifikasi aplikasinya terlebih dahulu.

Nutanix Private Cloud dan Google Cloud diibaratkan infrastruktur jalannya. Meski sama-sama menjadi infrastruktur bagi platform kontainer aplikasi, antara Nutanix Private Cloud dan Google Cloud memiliki karakteristik yang berbeda—yang dapat dipilih sesuai kebutuhan perusahaan perbankan atas fungsi aplikasinya.

Nutanix Private Cloud mirip seperti infrastruktur jalan di kompleks perumahan yang sifatnya privat atau terbatas hanya untuk mobil penghuni saja yang diizinkan lewat.

Sementara Google Cloud, menurut Fiertra Cahya, adalah Cloud Technology Manager Multipolar Technology, diumpamakan seperti infrastruktur jalan tol yang semua mobil diperbolehkan lewat, tiket yang dibayar sesuai tujuan dan jarak. Artinya, infrastruktur milik Google itu bisa menampung banyak dan beragam platform kontainer aplikasi perbankan melalui 6-8 lajur jalan bebas hambatan, sehingga mampu melayani lebih banyak dan mempercepat waktu perjalanan. Karena lebih terbuka terhadap jenis kendaraan dan digunakan bersama, biaya yang ditawarkan menjadi lebih murah, bahkan tanpa investasi awal.

Fiertra mengatakan proses setup platform kontainer aplikasi pada Google Cloud juga cukup cepat, bisa kurang dari lima menit. “Dari sudut pandang keamanan siber tidak perlu diragukan lagi, karena telah dijamin sertifikasi dan kepatuhan tingkat dunia yang lengkap, didukung tools terbaik dan ribuan teknisi sekuriti andal selama 24×7, saya rasa tertinggi di dunia dan pasti sudah memenuhi kebutuhan perbankan,” ujarnya. (*)

Multipolar Technology Paparkan Keunggulan 3 Platform Terkemuka Pendukung Penerapan Cloud-Ready Banking

MAJALAH ICT – Jakarta. Di era digital yang serba-canggih seperti sekarang ini, perusahaan-perusahaan perbankan di Tanah Air sebenarnya telah berlomba-lomba mendigitalisasi layanannya dengan memanfaatkan teknologi komputasi awan (cloud computing). Sayangnya, penerapannya masih terkendala kompleksitas, operasional yang terpisah-pisah (silo), dan biaya yang mahal.

Karena itu, dibutuhkan solusi yang memungkinkan teknologi cloud mampu berjalan dengan baik di sistem perbankan yang ada. Caranya dengan mengubah aplikasi yang sebelumnya bersistem monolitik ke aplikasi cloud-ready. Langkah awal yang harus dilakukan perbankan untuk itu adalah dengan mempersiapkan infrastruktur yang lebih cloud-ready sebelum menyiapkan aplikasinya.

Yohan Gunawan, Director Hybrid Infrastructure Services Business PT Multipolar Technology Tbk (IDX: MLPT), anak perusahaan PT Multipolar Tbk (IDX: MLPL) yang berperan sebagai mitra dalam mendukung pengembangan teknologi digital di berbagai sektor, menyebut ada banyak infrastruktur dan platform yang memudahkan penerapan aplikasi cloud-ready di perbankan. Tiga di antaranya, yaitu Red Hat OpenShift, Nutanix Private Cloud, dan Google Cloud.

Red Hat OpenShift merupakan platform kontainer konsisten [consistent container platform] yang memudahkan pengelolaan dan modernisasi aplikasi yang ada serta menghadirkan aplikasi baru. “Ibarat mesin mobil, platform kontainer aplikasi Red Hat OpenShift dapat berjalan di infrastruktur cloud apa pun,” ungkapnya dalam sebuah seminar bertema Cloud-Ready Banking di Fairmont Hotel, Jakarta, Selasa (14/6).

Platform kontainer aplikasi Red Hat OpenShift memungkinkan perusahaan perbankan menjalankan aplikasi di infrastruktur pilihan yang dirasa paling tepat, entah itu on-premise, public cloud, private cloud, atau pun hybrid cloud, tanpa harus memodifikasi aplikasinya terlebih dahulu. Dalam deployment-nya pun tidak membutuhkan downtime sehingga perusahaan perbankan dapat terus berinovasi dan go-to-market lebih cepat tanpa mengganggu layanan pelanggan.

Jika platform kontainer aplikasi Red Hat OpenShift seperti mobil, Nutanix Private Cloud dan Google Cloud diibaratkan infrastruktur jalannya. Meski sama-sama menjadi infrastruktur bagi platform kontainer aplikasi, antara Nutanix Private Cloud dan Google Cloud memiliki karakteristik yang berbeda—yang dapat dipilih sesuai kebutuhan perusahaan perbankan atas fungsi aplikasinya.

Nutanix Private Cloud mirip seperti infrastruktur jalan di kompleks perumahan yang sifatnya privat atau terbatas hanya untuk mobil penghuni saja yang diizinkan lewat. Dengan begitu, pergerakannya menjadi lebih bebas disertai kebijakan dan kontrol sepenuhnya di sisi pengguna karena hanya platform kontainer aplikasi milik perusahaan perbankan tertentu yang bisa berjalan di 1-2 dua jalur infrastruktur tersebut.

Sementara Google Cloud, menurut Fiertra Cahya, Cloud Technology Manager Multipolar Technology, diumpamakan seperti infrastruktur jalan tol yang semua mobil diperbolehkan lewat, tiket yang dibayar sesuai tujuan dan jarak. Artinya, infrastruktur milik Google itu bisa menampung banyak dan beragam platform kontainer aplikasi perbankan melalui 6-8 lajur jalan bebas hambatan, sehingga mampu melayani lebih banyak dan mempercepat waktu perjalanan. Karena lebih terbuka terhadap jenis kendaraan dan digunakan bersama, biaya yang ditawarkan menjadi lebih murah, bahkan tanpa investasi awal.

Fiertra mengatakan proses setup platform kontainer aplikasi pada Google Cloud juga cukup cepat, bisa kurang dari lima menit. “Dari sudut pandang keamanan siber tidak perlu diragukan lagi, karena telah dijamin sertifikasi dan kepatuhan tingkat dunia yang lengkap, didukung tools terbaik dan ribuan teknisi sekuriti andal selama 24×7, saya rasa tertinggi di dunia dan pasti sudah memenuhi kebutuhan perbankan,” ujarnya.

Untuk diketahui bahwa perlunya penggunaan infrastruktur dan platform kontainer aplikasi demi mengimplementasi aplikasi cloud-ready oleh perusahaan-perusahaan perbankan di Indonesia telah direspons Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Upaya itu sudah masuk dalam Cetak Biru Transformasi Digital Perbankan sebagai arah dan acuan percepatan transformasi digital perbankan yang diluncurkan regulator tersebut pada akhir Oktober lalu.

Multipolar Technology Paparkan Keunggulan 3 Platform Pendukung Cloud- Ready Banking

KONTAN.CO.ID – Di era digital yang serba-canggih seperti sekarang ini, perusahaan-perusahaan perbankan di Tanah Air sebenarnya telah berlomba-lomba mendigitalisasi layanannya dengan memanfaatkan teknologi komputasi awan (cloud computing). Sayangnya, penerapannya masih terkendala kompleksitas, operasional yang terpisah-pisah (silo), dan biaya yang mahal.

Karena itu, dibutuhkan solusi yang memungkinkan teknologi cloud mampu berjalan dengan baik di sistem perbankan yang ada. Caranya dengan mengubah aplikasi yang sebelumnya bersistem monolitik ke aplikasi cloud-ready. Langkah awal yang harus dilakukan perbankan untuk itu adalah dengan mempersiapkan infrastruktur yang lebih cloud-ready sebelum menyiapkan aplikasinya.

Yohan Gunawan, Director Hybrid Infrastructure Services Business PT Multipolar Technology Tbk (IDX: MLPT), anak perusahaan PT Multipolar Tbk (IDX: MLPL) yang berperan sebagai mitra dalam mendukung pengembangan teknologi digital di berbagai sektor, menyebut ada banyak infrastruktur dan platform yang memudahkan penerapan aplikasi cloud-ready di perbankan. Tiga di antaranya, yaitu Red Hat OpenShift, Nutanix Private Cloud, dan Google Cloud.

Red Hat OpenShift merupakan platform kontainer konsisten [consistent container platform] yang memudahkan pengelolaan dan modernisasi aplikasi yang ada serta menghadirkan aplikasi baru. “Ibarat mesin mobil, platform kontainer aplikasi Red Hat OpenShift dapat berjalan di infrastruktur cloud apa pun,” ungkapnya dalam sebuah seminar bertema Cloud-Ready Banking di Fairmont Hotel, Jakarta, Selasa (14/6).

Platform kontainer aplikasi Red Hat OpenShift memungkinkan perusahaan perbankan menjalankan aplikasi di infrastruktur pilihan yang dirasa paling tepat, entah itu on-premise, public cloud, private cloud, atau pun hybrid cloud, tanpa harus memodifikasi aplikasinya terlebih dahulu. Dalam deployment-nya pun tidak membutuhkan downtime sehingga perusahaan perbankan dapat terus berinovasi dan go-to-market lebih cepat tanpa mengganggu layanan pelanggan.

Jika platform kontainer aplikasi Red Hat OpenShift seperti mobil, Nutanix Private Cloud dan Google Cloud diibaratkan infrastruktur jalannya. Meski sama-sama menjadi infrastruktur bagi platform kontainer aplikasi, antara Nutanix Private Cloud dan Google Cloud memiliki karakteristik yang berbeda—yang dapat dipilih sesuai kebutuhan perusahaan perbankan atas fungsi aplikasinya.

Nutanix Private Cloud mirip seperti infrastruktur jalan di kompleks perumahan yang sifatnya privat atau terbatas hanya untuk mobil penghuni saja yang diizinkan lewat. Dengan begitu, pergerakannya menjadi lebih bebas disertai kebijakan dan kontrol sepenuhnya di sisi pengguna karena hanya platform kontainer aplikasi milik perusahaan perbankan tertentu yang bisa berjalan di 1-2 dua jalur infrastruktur tersebut.

Sementara Google Cloud, menurut Fiertra Cahya, Cloud Technology Manager Multipolar Technology, diumpamakan seperti infrastruktur jalan tol yang semua mobil diperbolehkan lewat, tiket yang dibayar sesuai tujuan dan jarak. Artinya, infrastruktur milik Google itu bisa menampung banyak dan beragam platform kontainer aplikasi perbankan melalui 6-8 lajur jalan bebas hambatan, sehingga mampu melayani lebih banyak dan mempercepat waktu perjalanan. Karena lebih terbuka terhadap jenis kendaraan dan digunakan bersama, biaya yang ditawarkan menjadi lebih murah, bahkan tanpa investasi awal.

Fiertra mengatakan proses setup platform kontainer aplikasi pada Google Cloud juga cukup cepat, bisa kurang dari lima menit. “Dari sudut pandang keamanan siber tidak perlu diragukan lagi, karena telah dijamin sertifikasi dan kepatuhan tingkat dunia yang lengkap, didukung tools terbaik dan ribuan teknisi sekuriti andal selama 24×7, saya rasa tertinggi di dunia dan pasti sudah memenuhi kebutuhan perbankan,” ujarnya.

Untuk diketahui bahwa perlunya penggunaan infrastruktur dan platform kontainer aplikasi demi mengimplementasi aplikasi cloud-ready oleh perusahaan-perusahaan perbankan di Indonesia telah direspons Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Upaya itu sudah masuk dalam Cetak Biru Transformasi Digital Perbankan sebagai arah dan acuan percepatan transformasi digital perbankan yang diluncurkan regulator tersebut pada akhir Oktober lalu.